Archive for the ‘Profile Mangku Pastika’ Category

Selayang Pandang Mangku Pastika

April 7, 2008

Komjen I Made Mangku Pastika calon Gubernur Bali dari PDI Perjuangan menyampaikan tentang pengalaman hidupnya dari masa kecil dulu hingga sekarang. Pria kelahiran Desa Musi, Penyabangan, Buleleng ini juga layak dicatat, minimal untuk generasi Bali berikutnya. Mangku Pastika merenda hari-hari kecil dari menjual rumput. Belajar dari sosok seorang Mangku Pastika, tentu harus mulai dari peristiwa 52 tahun silam. Di sebuah wilayah bertanah gersang nan tandus — Desa Musi, Penyabangan, Buleleng, ia lahir pada 22 Juni 1951

Putra kedua dari enam bersaudara ( lima laki-laki dan satu perempuan). Bapaknya seorang pendidik, guru tari, dan juga guru silat. ”Dulu keluarga kami hidup susah, saya juga termasuk anak tak punya,” katanya mengenang masa silam. Perjuangan hidup yang penuh tantangan, sudah dilakoni Mangku Pastika sejak duduk di kelas V SR (sekolah rakyat) — setingkat SD. Mencari padang (rumput) di sawah, untuk dijual pada pemilik dokar adalah bagian dari masa lalu sang Kapolda Bali. Untuk menambah uang jajan sekolah, ia juga harus bangun pagi dan berangkat mencari bunga. Lagi-lagi untuk dijual di Seririt, terutama di Banjar Uma. Mangku Pastika menaruh bunga dalam sebuah ingke, dipajang di atas leneng (tempat duduk yang dibuat di atas sungai kecil). ”Langganan saya banyak dari Dusun Jeroan. Mereka memberi uang setalen atau dua talen,” ceritanya tentang pengalaman di tahun 1961-1962.

Pria yang ketika bocah punya kesibukan menjual rumput untuk makanan dokar ini mengaku tak pernah membayangkan bakal bisa menjadi pejabat. Mangku Pastika menjalani hari-hari panjang dalam suasana serba sederhana, membiarkan waktu berjalan apa adanya. Sepulang sekolah, ia pergi menyabit rumput, mencuci di sungai sebelum dijual. Begitu terus berlanjut, napasnya mengalir seirama arus sungai di pedesaan. Profesi penjual rumput, ternyata tak sepenuhnya menutup lembaran hidup Mangku Pastika kecil. Jika sore tiba, ia berangkat lagi ke sawah mencari daun kesimbukan dan cacing. ”Saya cacah dan campur jadi satu, lalu ditaruh dalam bubu untuk kemudian dipasang di pematang sawah,” urainya

Ia menyebutkan, di belakang tempat tinggal keluarganya ada sawah. Memasang bubu (jaring dari bambu) pukul 20.00, sebelum tidur lelap sambil berharap dapat rezeki untuk meringankan beban dapur orangtua. Pukul 04.00 dini hari, Mangku Pastika bangun, membuang rasa kantuk seraya lari ke pematang sawah. Hasilnya? ”Saya dapat lindung (belut), walaupun cuma satu. Terkadang juga dapat ular.”

Cerita si bocah penjual rumput dan pemasang bubu di pematang sawah, berakhir tahun 1963. Gunung Agung meletus, keluarga Mangku Pastika meninggalkan Bali menuju Bengkulu. Di daerah transmigran inilah ia kembali mengisi buku diary yang penuh diwarnai kesusahan. Misalnya, tinggal di hutan dan tidak ada tempat menuntut ilmu. Mangku Pastika memutuskan pindah ke kota dan menjadi pembantu rumah tangga di rumah seorang warga Cina. Profesinya berubah, dari menjual rumput menjadi ”asisten” dagang es, rujak, dan gado-gado. ”Hidup tetap susah, namun masih bersyukur bisa sekolah SLTP,” bisiknya seraya mengaku hanya punya nilai 8, 9, dan 10 di rapor saat bersekolah di Bali.

Lulus di SMP Palembang, kemudian masuk SMU sambil mengajar anak SD di sore hari, adalah bagian dari sepenggal cerita masa lalu jenderal bintang dua ini. Mangku Pastika termasuk alumnus Akademi Kepolisian (1972) dan lulus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tahun 1984. Sekolah Staf Komando ABRI (lulus 1997) dan mendalami Ilmu Investigasi Kriminal Internasional Tokyo, Jepang

Sebelum menjabat Kapolda Bali, tahun 1985 ia dipercaya sebagai Kepala Unit Kejahatan Harta Benda, Direktorat Reserse Polda Metro Jaya. Anggota Kontingen Garuda IX bergabung dengan pasukan PBB, Namibia (1988-1989)

Kepala Satuan Penyidik Kejahatan Perbankan, Sub Direktorat Reserse Mabes Polri (1991) dan Direktur Reserse Ekonomi Mabes Polri (1997) Posisi Kepala Departemen Informasi Mabes Polri diraih tahun 1997, Direktur Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri (1999) Sekretariat Interpol Mabes Polri (2000) Sekretaris NCB-Interpol Mabes Polri (2000) Kapolda NTT Kapolda Papua Ketua Tim Gabungan Investigasi Bom Bali, dan sekarang Kapolda Bali Lantas, apa komentarnya setelah sukses meniti karier? ”Saya tidak pernah membayangkan bisa hidup dengan penuh kemuliaan seperti sekarang. Ini karunia luar biasa. Jadi tidak ada alasan sedikit pun bagi saya untuk menyia-nyiakan semua anugerah Tuhan. Saya akan isi hari-hari ini, detik demi detik, menit demi menit untuk betul-betul bekerja, mengabdi berbuat sebaik-baiknya untuk masyarakat Bali. Itu saja, tak ada pikiran yang lain-lain lagi. Saya ingin perjalanan hidup saya juga bisa menjadi pelajaran bagi anak-anak di Bali. Intinya, siapa pun bisa meraih keinginan jika berusaha dengan keras dan ada kemauan.”

Seorang Mangku Pastika ternyata tak hanya cerdas menangkap teroris. Pria murah senyum ini juga suka membaca buku-buku agama, bahkan memegang teguh konsep ajaran karmaphala. Apa katanya soal pahala dari perbuatan seseorang? ”Penderitaan yang pernah dialami seseorang di masa lalu, pada kehidupan sekarang memetik buah karma-nya. Kalau ingin memperbaiki karma, harus sadar dan mau berbuat baik. Sering orang yang mengeluh, kenapa sih saya sudah sembahyang tiap hari, ke pura tiap detik, bersedekah banyak, berbuat baik, toh tetap saja sekarat. Sebenarnya orang itu malas dalam kehidupan yang lalu. Kita harus percaya pada samsara. Yang lalu brengsek, makanya sekarang harus bayar. Contoh lain, ada orang yang menindas, korupsi kiri kanan, kok hidupnya enak? Kenapa? Karena ia memetik yang lalu. Yang sekarang ia lakukan belum berbuah.”

Begitulah perjalanan karier seorang bocah penjual rumput yang pernah memegang garis komando Polda Bali. Satu tekad bulat yang tak bisa ditawar-tawar lagi, Irjen Pol. Drs. Mangku Pastika pulang ke Bali untuk membangun kampung halaman, dengan tegas dan lugas berikrar, ”Saya harus bekerja keras, menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi untuk membangun Bali.”